Dunia Tari dan Kehidupan Kita

Kegiatan “menari” telah dilakukan manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini dapat dibuktikan dari peninggalan-peninggalan peradaban kuno seperti Aztec, Cina, Maya, Mesir, Persia, Yunani, dan lain sebagainya. Sejak bangsa Eropa memulai peradaban modern, yang dipicu oleh pencerahan di era Renaissance di abad ke-16, tari (dan bentuk kesenian lainnya) mulai ditanggapi sebagai karya seni, dan seniman ditempatkan sebagai profesi yang sama terhormatnya dengan profesi yang lain. Dalam perjalanannya, tari bahkan menjelma menjadi sebuah disiplin keilmuan.

Dunia tari selalu mengiringi perjalanan umat manusia, dan setiap orang rasanya pernah bersentuhan dengannya, baik dengan cara membaca, melihat atau melakukannya sendiri. Walaupun demikian, perhatian terhadap tari (apalagi jika dibandingkan dengan musik dan seni rupa) dapat dikatakan jauh lebih kecil dari yang seharusnya. Padahal, tanpa tari, kita dapat membayangkan betapa tidak bergairahnya kehidupan kita. Tetapi mungkin itulah manusia, sering tidak menyadari atau menghargai yang dimiliki sampai ia kehilangan “harta”nya.

Kata tari sendiri sudah sering kali kita dengar dan gunakan, dan sebagian besar menganggapnya sebagai kata yang sederhana. Akan tetapi, jika kita mencoba mendefinisikannya maka kita akan menyadari bahwa mengartikan kata tari tidaklah semudah yang kita sangka dan dapat menimbulkan berbagai pertanyaan seperti:

  • Apakah goyangan orang yang berdansa di lantai klub atau diskotek dapat dikategorikan sebagai tarian?
  • Apakah rangkaian gerak yang dilakukan seorang pesenam gimnastik dapat disebut sebagai tarian?
  • Apakah rangkaian gerak yang dilakukan pesenam aerobik juga dapat dianggap sebagai tarian?

Kemudian, gerakan silat dari seorang pesilat tentu akan diartikan sebagai gerakan bela diri. Akan tetapi jika gerakan itu digunakan oleh seorang koreografer tari dalam karyanya, maka gerakan yang sama akan dilihat sebagai tarian. Belum lagi gerakan-gerakan yang memiliki fungsi khusus seperti memanggil hujan misalnya; apakah itu juga adalah tarian? Jadi bagaimana sebenarnya kita bisa membedakan mana yang tarian dan mana yang bukan?

Photo by svklimkin on Unsplash

Mendefinisikan tari (dan juga seni lainnya) dengan tepat dapat dikatakan mustahil. Ribuan definisi dapat kita temui, dan itupun masih terus dibahas dan berkembang. Berbagai definisi ini ada yang senafas, ada yang saling melengkapi, dan ada juga yang bertolak belakang. Apapun beragam definisi ini, sebaiknya kita manfaatkan untuk memahami tari dengan lebih baik. Bagi penulis sendiri, tari adalah suatu rangkaian gerak yang mengandung teknik serta nilai-nilai estetika yang lahir atau tercipta dari suatu konteks.

Definisi ini mungkin di mata pembaca termasuk serius atau jelimet, apalagi jika dibandingkan dengan ungkapan-ungkapan seperti tari adalah ekspresi, tari adalah teknik gerak, tari adalah emosi, dan lain sebagainya. Akan tetapi definisi oleh penulis ini sebenarnya juga masih mengandung kelonggaran yang memberi ruang cukup luas untuk memahami tari. Mendefinisikan tari secara rinci cenderung mempersempit arti tari, sedangkan terlalu menyederhanakannya acap kali jadi mengaburkan makna tari.

Jika diperhatikan, definisi di atas mengandung empat kata kunci, yaitu: gerak, teknik, estetika dan konteks. Keempat kata ini akan membantu kita untuk menilai apakah suatu rangkaian gerak merupakan sebuah tarian atau bukan, sekaligus membantu kita untuk melihat perbedaan-perbedaan yang ada dalam dunia tari. Dari keempat kata itu, konteks merupakan yang terpenting karena ia menentukan bagaimana sebuah karya tetap dikategorikan sebagai tarian walaupun memiliki gerak, teknik serta estetika yang sama sekali berbeda. Konteks sendiri secara sederhana dapat diartikan sebagai kondisi/situasi, baik di masa lalu maupun kini, yang berlangsung dalam komunitas atau masyarakat di suatu wilayah. Tanpa menyertai konteks maka para penari tradisional akan menilai ballet bukanlah sebuah bentuk tari, dan begitu juga sebaliknya. Para pelaku tari modern juga akan menilai ballet dan tari tradisional bukan sebagai bentuk tari.

Photo by The New York Public Library on Unsplash

Ballet misalnya, di awal sejarahnya (antara abad 16 dan 17) merupakan perlambangan dari hal-hal yang menyangkut moral, kekuasaan dan ketuhanan. Pada periode Romantic antara akhir abad 18 dan 19, ballet menjadi perlambangan dari inti keindahan (beauty) dan citarasa yang tinggi (elegance). Kini, ballet lebih dipahami sebagai ekspresi emosi yang tersimbolisasi melalui gerak dan teknik yang baku. Dalam dunia ballet, tampilan visual adalah segala-galanya. Oleh sebab itu, penguasaan teknik yang prima dan pengorganisasian ruang yang apik merupakan syarat dan media utama untuk memvisualisasikan beauty dan elegance. Persentuhan fisik antara penaripun dirancang dalam rangka memberikan tampilan visual yang elok. Fungsi audio berupa musik juga ditujukan untuk membangun mood atau atmosphere yang menyempurnakan tampilan visual. Penggunaan musik hidup berbentuk ensemble atau orchestra dalam ballet tidak diperkenankan mengganggu tampilan visual tarian. Oleh sebab itu, gedung-gedung pertunjukan untuk ballet selalu dilengkapi dengan orchestra pit yang membuat kehadiran fisik para pemusik menjadi tersembunyi.

60 Year Gala Evening. (Photo: Suprapto)

Berbeda dengan ballet, tari modern berangkat dari sebuah pemikiran yang menyangkut keseimbangan. Seperti yang telah kita sadari, kehidupan selalu mengandung dua sisi seperti bersih-kotor, lembut-keras, baik-buruk, feminin-maskulin, utara-selatan, dll. Kedua sisi ini sering dianggap bertolakbelakang, padahal tanpa satu sisi, sisi yang lainnya menjadi tidak bermakna. Bayangkan apa artinya kanan tanpa adanya kiri? Lalu apa artinya pendek kalau tidak ada panjang?

Nah, para penggagas tari modern mengangkat persoalan ini melalui hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak berimbang dalam kehidupan sosial masyarakat dimana peran perempuan sering dianggap tidak penting. Padahal apa jadinya dunia ini jika kaum perempuan sama sekali tidak menjalankan peran yang selama ini telah berlangsung? Yang lebih tak terbayangkan, bagaimana jika tidak ada kaum perempuan sama sekali? Pertanyaan inilah yang mendasari tari modern dimana rangkaian gerak yang diciptakan merupakan simbol dari peran perempuan yang terabaikan. Menampilkan peran perempuan bukan berarti tari modern hanya dilakukan oleh penari perempuan, tetapi dilakukan bersama dengan laki-laki karena hubungan yang saling mengisi di antara keduanyalah yang menjadi fokus. Walaupun teknik ballet masih digunakan, tari modern berhasil mengembangkan teknik dan kosa gerak tersendiri.

Jalin, choreographed by Sussi Anddri. (Photo: Suprapto)

Di awal tahun 70an, di Amerika berkembang bentuk tari lain yang kemudian disebut sebagai contact improvisation. Dari judulnya mungkin dapat diduga kalau kontak atau persentuhan fisik merupakan hal yang penting dalam bentuk tari ini, dan memang demikian adanya. Tari jenis ini bertumpu pada kepekaan rasa (terhadap badan sendiri maupun pasangan), bobot badan (diri sendiri dan pasangan), dan momentum yang terjadi pada persentuhan. Sentuhan-sentuhan yang terjadi antara penari melahirkan rasa serta persepsi yang kemudian membentuk gerakan-gerakan bebas. Berbeda dengan ballet dan modern yang memiliki teknik tertentu, contact improvisation tidak mensyaratkan kemampuan teknik apapun pada penarinya. Anatomi atau bentuk badan penaripun tidak berpengaruh seperti di ballet. Pada dasarnya siapapun boleh saja melakukannya. Peran musik pada tari ini lebih untuk meningkatkan kepekaan rasa penari, bukan sebagai ritme yang memberi patokan pada rangkaian gerak. Bunyi-bunyi lain seperti nafas penari, langkah, dan badan jatuh merupakan bagian yang musikal dalam contact improvisation. Mengingat sifatnya yang terbuka untuk siapapun, contact improvisation, selain sebagai bentuk tari, juga dianggap sebagai pernyataan politis yang mengatakan: siapapun berhak untuk menari.

Soulsphere of Jakarta. (Photo: Suprapto)

Selain ketiga kategori tari di atas, dunia juga memiliki tari tradisional, dan bentuk ini rasanya hampir semua bangsa memilikinya. Beragam tari tradisional ini tentu memiliki kekhasannya masing-masing, akan tetapi juga mempunyai kesamaan yang membedakan mereka dari kategori tari lainnya. Walaupun sekarang telah banyak kursus tari tradisional, cara belajar yang asli sebenarnya bukan melalui pengajaran di kelas, tetapi melalui kegiatan sehari-hari. Anak-anak umumnya melihat para tetua berlatih kemudian menirunya, lalu ikut berlatih, dan selanjutnya terlibat dalam upacara-upacara yang menghadirkan tarian. Tarian tradisional pada umumnya tidak bisa dipisahkan dari musik dan sebaliknya; gerak dan musik saling berinteraksi.

Tradikal, choreographed by Dinar Karina. (Photo: Suprapto)

Dalam tari tradisional, pemusik, penari dan penonton bukan unsur-unsur yang dapat berdiri sendiri. Kesemuanya inilah yang menjadikan tarian menjadi sebuah event atau keramaian. Penari bukan hanya me-respond musik, tetapi juga sesama penari dan penonton; penonton dan reaksi mereka adalah bagian dari tarian. Oleh sebab itu, pertunjukan tari tradisional biasanya tidak memberi jarak antara penonton dan penari. Pemusik pun tidak “disembunyikan” seperti pada pertujukan ballet, kehadiran fisik mereka merupakan bagian visual dari pertunjukan. Ekspresi individu yang berdiri sendiri tidak dikenal dalam tari tradisional, semua gerak dan peran penari merupakan gambaran akan kehidupan sosial komunitas mereka. Interaksi, partisipasi dan kesatuan adalah unsur-unsur utama dalam tari tradisional pada umumnya. Pikiran, tubuh, dan jiwa dari semua yang hadir melebur dan menjadi nafas dari keramaian. Peleburan inilah sebenarnya yang merupakan inti dari kehidupan sosial masyarakat tradisional.

(SGS)